[YunJae] Black Roses Petals – Chapter III
Annyeong…..
Title::Black Roses Petals
Author:Joy-Wiliam
Raiting::Pg 13
Length::Romance,Angsat,humor
Main Charater::
1. Kim Jaejoong
2. Jung Yunho
3. Kim Junsu
4. Park Yoochun
5. Shim Changmin
6. Choi Siwon
7. I m Yoona
Chapter III
Pov Of Kim Jaejoong
Semerbak bunga-bunga membuat hatiku damai.Ya, sekarang aku berada di halaman rumah ibu pemilik kos ini. Setiap 2 kali dalam seminggu sebelum berangkat kuliah, aku mengunjungi rumah pemilik kos ini yang jaraknya hanya 10 langkah dari tempat kos. Namanya AjumaLee,. Aku menghabiskan waktu pagiku ini untuk menyiram bunga-bunga di halaman rumahnya. Hanya pada saat-saat inilah aku senang hati bangun pagi untuk menyapa bunga-bungaku(bunga-bunga Ajuma Lee maksudnya).
Jadi hari ini aku tak akan mendengar ocehan si Mr. Dilligent itu lagi yang memintaku mengejar waktu hanya karena bangun kesiangan. Walaupun masih saja dia bangun lebih awal dariku. Kebiasaanku ini sudah kulakukan sejak awal masuk kos. Bermula dari pertama kali saat masuk kuliah, kulihat halaman Ajuma Lee yang menunjukkan berbagai jenis bunga. Dan yang paling kusukai adalah bunga mawar, khususnya mawar merah. Maka dari itu, aku selalu memberikan perhatian lebih pada bunga mawar-mawar ini.
Mungkin seluruh penghuni kos tahu dan mencap aku sebagai lelaki aneh yang doyan kembang (hei memang aku makan bunga). Tapi aku tak peduli, aku suka mawar. Sejarah tentang kesukaanku pada mawar berasal dari bundaku, dia selalu rajin menanam bunga mawar di taman samping rumah kami. Bunda selalu menyuruhku untuk merawatnya, sehingga kecintaanku pada mawar masih berlangsung sampai sekarang. Bahkan saat pertama kali disini, aku meminta izin pada Ajuma Lee untuk membiarkanku menyiramnya setiap dua kali dalam seminggu. Aku akan memetiknya satu tangkai untuk kukantongi di saku bajuku dan membawanya setiap hari. Aku menganggap jika satu tangkai bunga mawar akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan. Hari ini kulihat mawar-mawar merahku bermekaran sempurna.
Ku coba petik tapi tak kusangka seonak duri melukai jariku, tetes darah mulai keluar dari jariku. Bodohnya diriku, aku lupa kalau mawar-mawar ini dibiarkan tumbuh apa adanya. Tak seperti mawar-mawar yang berasal dari hasil bioteknologi yang menghasilkan mawar tanpa duri dan langsung petik. Aku merutuki diriku sendiri, bisa-bisanya aku lupa memotong durinya sebelum aku petik.
“Kamu kenapa?”, sosok Namja mengagetkanku dari arah belakang. Saat itu juga kutorehkan pandanganku kearah belakang. Saat ini tatapan mata kami bertemu, kemudian matanya beralih menuju tangan kiriku yang menggenggam jari telunjuk tangan kananku.
“Hei, jarimu berdarah!”, dia mencoba memberitahu hal yang sudah tak perlu dikatakan lagi karena jelas-jelas jariku sudah berdarah sebelum dia datang kemari.
“Ya aku tahu, ini gak apa-apa kok!”, aku hanya nyengir kuda sambil menatap raut mukanya yang khawatir.
“Eh,ini gak bisa dibiarin gitu aja dong”,dia kemudian menarik lenganku, dan menarik jariku untuk masuk ke mulutnya.
“Eh…….”,aku setengah kaget.Ya, tuhan dia menghisap darahku. Ku rasakan nafasnya yang menghembus di sela jariku, hangat. Ku lihat cara dia melakukannya, mukanya lucu.
“Sudah”, dia menarik wajahnya menjauh dari tanganku.
“Ehm, makasih”, hanya kata itu yang terlontar dari mulutku. Mungkin saat ini wajahku memerah.
“Iya, sama-sama. Nanti kalau darahnya belum berhenti kita beli plester”, dia berkata dengan memberikan ulasan senyum padaku.
“Ini udah gak apa-apa kok Chunie. Darahnya sudah berhenti”, ku coba menutupi kegugupanku.
“Ya sudah kalau begitu aku masuk ke dalam dulu ya! Agak cepet ya ini udah hampir jam delapan”, Chunie kemudian pergi masuk menuju kamarnya. Ku lihat punggungnya yang begitu kokoh dari belakang. Begitu beruntungnya wanita yang bersanding dengannya nanti. Tapi setelah kupikir, hari ini dia bersikap aneh. Sangat lembut padaku. Apa yang terjadi padanya. Ku pending dulu pertanyaan-pertanyaanku ini, kulanjutkan kegiatanku memetik bunga mawar yang tadi membuatku malu karena durinya.
“ Mulai hari ini,aku takkan lupa memotong durimu sebelum aku petik!”, kataku pada kumpulan mawar-mawar di depanku seakan mereka benda bernyawa.
☺☺☺
Di koridor kampus
Aku yang berjalan seorang diri di koridor kampus tiba-tiba tanganku ditarik oleh seorang perempuan yang tidak lain dan tidak bukan yaituYoona.Aku yang merasa kaget dengan perlakuannya yang tiba-tiba ini mulai angkat bicara.
“Kamu ini apa-apaan sihYoona? Kita sebenarnya mau kemana?”, ku hempaskan tarikan tangannya padaku.
“Udah ikut saja! Nanti aku kasih tahu”,dia kembali menyeretku menuju tempat yang tidak jauh dari koridor kampus.
“Apa-apaan ini. Kenapa kita kesini? Sebenernya ada apa sih?”, aku mulai protes saat dia mengajakku ke aula basket kampus yang sangat ramai dengan riuh sorak-sorai penonton. Sepertinya ada pertandingan basket antar tim kampus. Kudengar banyak mahasiswi meneriakkan nama ‘Yunho’ sangat keras sampai hampir merusak gendang telingaku. Prediksiku, dia pemain basket idola cewek-cewek keganjenan disini. Norak! Itu satu kata untuk mereka.
“Duduk sini dulu!”,dia menyuruhku duduk di sebelahnya. Saat ini kami berada di tribun paling atas. Maklum, sepertinya kami terlambat datang sehingga tidak kebagian tempat duduk yang strategis agar lebih dekat melihatnya.
“Lo tau gak siapa yang diteriakin ama anak-anak sekarang?”, yoona memulai percakapan.
“Siapa emang? Apa ada hubungannya sama aksi penyeretanmu padaku?”, aku memasang wajah datar.
“Iya, dia mantan aku”, jawabnya dengan bangga.
“Jadi kamu ngajak aku kemari hanya untuk pamer mantan pacarmu”, aku mendengus kesal. Bayangkan saja kupikir dia mengajakku ketempat ini ada hal serius yang perlu ku ketahui. Nyatanya dia hanya ingin memberi tahu kalau mantannya seorang idola kampus yang tak kukenal.
“Udahlah, ikut nonton aja! Ngapain sih, diajak nemenin temen sendiri malah marah-marah gitu. Lagiankan lo tahu kalo gue jarang punya temen deketYejoa. Liatlah mereka, aku alergi kecentilan mereka”, sambil menunjuk kumpulan mahasiswai di tribun bawah. Huh, bagaimana aku bisa marah kalau dia pasang tampang muka memelas kaya gitu pake sebut-sebut gak punya temen cewek segala juga. Aku jadi merasa bersalah.
“Iya,iya aku temenin nonton. Ngomong-ngomong kapan kamu punya pacar? Sampe jadi mantan segala. Masa Idola kampus mau sama kamu?”, aku coba sedikit menyindirnya biar dia merasakan kesal kaya aku.
“Justru itu gue mau ngenalin dia ke lo. Kalo junsu ama Yoochun udah tahu beberapa hari yang lalu waktu kamu gak masuk kuliah karena sakit itu. Junsu pasti belum bilang kan? Mana mau dia bahas soal mantan gue”, nadanya menjelaskan.
“Terus penting gitu aku kenal ama dia?”, aku berkata cuek.
“Ya penting lah. Lo mau tahu orangnya? tuh yang lengannya diiket pakai kain warna biru”, telunjuknya menunjuk kearah seorang lelaki yang tengah menggiring bola. Aku sedikit menyipitkan mataku, tapi tetap saja aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Mataku yang minus tiga ini tak bisa menjangkau jarak pandang ke lapangan itu.
“Aku gak bisa lihat”, setelah menyelesaikan statement singkatku, Yoona menoleh kearahku.
“Ya elah kamu gak bawa kacamata?”, aku menggeleng kecil.
“Udah tahu mata minus , kacamata gak mau dipake segala lagi”, lagi-lagi hari ini dia menyalahkanku. Orang ini memang pandai membuat orang merasa bersalah. Memang kondisi mataku sudah parah(masih belum), dulu aku memang memakai kacamata tapi karena kurang nyaman sekarang aku hanya memakainya saat jam pelajaran saja.
. “Ya sudahlah nanti kalo pertandingannya selesai kita liat dia dari deket”,dia hanya manggut-manggut.
“Oh jangan diliat aja dong. Tujuan gue ngajak kamu kemari kan buat ngenalin dia ke lo, habis ini kita samperin dia. Gue mau nyerahin ini juga”, dia menunjukkan sebuah amplop di tangannya.
“Apaan tu?”, tanyaku penasaran.
“Ini jatah bulanan dia dari ummanya. Kemarin Ummanya nitipin keUmma aku”,jelasnya yang membuatku bingung.
“Umma kamu?”,
“Bingung kan? Gini hlo, Ummanya ntu ternyata adik iparOm Aku. Ummaku kan kemarin ngunjungin aku disini, sekalian nitipin jatah bulanan Yunho dari ortunya yang kerja Seol”
“Tapi dulu kalian kok bisa pacaran? Kalian kan masih saudara”, tanyaku yang masih bingung dengan penjelasannya.
“Itu dia yang membuat aku jadi salah satu Yeoja yang akrab dengannya. Dulu dia nembak Aku seminggu setelah acara ospek. Aku tahu kalau dia playboy.Dari pengalaman Yejoa-Yeoja sebelumnya, pacaran paling lama sama dia hanya 2 minggu, setelah itu diputusin. Tapi pacaran dengan dia merupakan mimpi bagi semua Yejoa disini, jadi waktu itu gue terima aja. Gak apa-apa walaupun cuma satu hari yang penting mimpiku terwujud”, aku hanya melongo mendengar penuturannya. Yoona walaupun cerewet tapi cantik. Tapi aku tak menyangka dia begitu bodohnya seperti Yeoja-Yeoja lain. Bermimpi jadi pacar seorang playboy kampus.Mimpi yang konyol. Aku melanjutkan mendengarkan ceritanya kembali.
“Setelah lima hari, gue diputusin. Tapi waktu acara pernikahan saudara gue tiga bulan yang lalu. Aku ketemu ama dia lagi, disitulah terjadi percakapan antara ortu kami. Dan disitu muncullah suatu penjelasan kalau gue saudaraan ama dia. Nah setelah itu kita jadi akrab deh, tapi hanya sebatas saudara. Buktinya tiap nyokap gue ngunjungin gue kemari selalu ngasih titipan uang bulanan ama semesteran buat gue kasih kedia. Seperti saat ini”,aku mengangguk mengerti. Ku kira dia tipe cewek yang suka ngejar-ngejar Namja meskipun sudah dicampakkan. Baguslah, dia masih punya harga diri.
Teeeeet…………….teeeeeeeeeeeeet……
Bunyi klakson menggema di penjuru aula ini. Tak kusangka cerita Yoona sampai membuat kami tidak bisa menyaksikan pertandingannya. Lagian apa peduliku. Ku lihat, para Yeoja meneriakkan namanya dengan keras. Oh, berarti timnya menang. Dengan tergesa Yoona menyeretku lagi kesebuah ruangan yang khusus untuk para pemain-pemain tadi, semacam ruang ganti gitu. Tapi sebelum kami melangkah masuk kami dihadang oleh pria berpostur tinggi. Dan dia sosok yang kukenali.
“Hai,Yun Oppa. Ini Umma Kamu nitip ini keummaKu. Biasa!”, Yoona menyodorkan amplop yang dia tunjukkan tadi.
“Oh, makasih ya Saengku!”, dia mentowel daguYoona. Pandangannya kemudian beralih kearahku. Yoona yang melihat peralihan pandangan Yunho mulai berbicara.
“Kenalin temenku, Jaejoong Oppa dari jurusan sama kaya Aku. Kamu tahu lah”, Yoona menunjuk kearahku. Otomatis aku jadi grogi setengah mati.
“Oh kamu Namja cantik malam itu kan?”, dia tersenyum mesum kearahku.
“Apa-apaan kamu ini, aku ini Namja jangan sebut aku cantik! Lagian tak kusangka pria di jembatan malam itu tak jadi bunuh diri dan dia kuliah disini ternyata”, balasku.
“Wah…wah kalian sudah kenal rupanya. Terus siapa yang mau bunuh diri?”, tampangnya penuh keingintahuan.
“Oh nggak kokYoona ,malem itu cuma ada kesalahpahaman.Dia mengira aku mau bunuh diri,lucu ya?. Waktu itu awal pertemuan kami, tapi kita belum sempat kenalan. Kenalin aku Jung Yunho jurusan TI”,dia mengulurkan tangannya padaku.
“Aku,Jaejoong”, balasku dengan manyun. Dia malah tertawa.
“Kenapa kamu ketawa-tawa?gak ada yang lucu tau”, dia menertawaiku seolah aku bahan lelucon, padahalkan baru kenal bikin kesel aja nih orang.
“Aku gak percaya kalau kamu ini Namja. Kau bahkan lebih cantik dari Yoona ”.dia memandangiku seksama dari bawah sampai ujung rambut.
“Iya nih,temen ku terkenal cantiknya”,yoona menambahi yang membuatku semakin sebal saja.
“Terserahlah, aku mau pulang”,aku tak tahan dengan olok-olok mereka lebih baik aku pergi dari sini.
“Ya aku ikut! Yunho oppa aku duluan ya!”, Yoona permisi pamit.
“Oh makasi ya udah nganterin titipanUmmaKu! Jae kapan-kapan kita ketemu lagi ya”,dia melambaikan tangannya padaku saat jarak kami sudah agak jauh.
“Siapa juga yang mau ketemu lagi sama kamu, wek!!!”. Aku menjulurkan lidahku. Dia malah tersenyum disana. Senyum yang waktu dia tunjukkan malam itu di jembatan kemarin. Apa-apaan orang ini?
☺☺☺
Sepulang dari kampus aku langsung menunggu angkutan umum untuk ke rumah Paman Sam. Sebenarnya Key menawariku untuk dianter tapi aku tolak,aku tahu dia pasti capek karena seminggu ini mata kuliahnya sangat padat. Saat aku menolaknya tergambar wajah khawatir di rona mukanya. Dia terlalu perhatian padaku, melebihi perhatian seorang sahabat. Apa yang aku pikirkan sih?
Lamunanku terbuyarkan saat angkutan umum yang aku tumpangi telah sampai di depan gerbang sebuah rumah yang megah. Aku teringat kejadian dua hari yang lalu. Bagaimana anak itu merubah sikapnya yang kasar menjadi lunak padaku. Sempat terlintas di pikiranku, kalau mungkin ini strateginya untuk menendangku keluar dari pekerjaan ini. Berpura-pura baik, tapi ujung-ujungnya dia akan menusukku dari belakang. Mulai sekarang aku harus berhati-hati padanya. Harus sabar, hanya enam bulan. Aku harus kuat,aku meneyemangati diriku sendiri.
☺☺☺
Aku duduk bersila di kamar Changmin. Bik Inah bilang dia belum pulang sekolah. Ku nikmati saja membaca novel kesukaanku untuk menghilangkan suasana bosan karena menunggu bocah itu pulang.
Ini sudah lima belas menit tapi belum tampak sosok yang kutunggu kehadirannya.Kemana dia pergi? Bahkan camilan yang disediakan Bik Inahpun belum sempat kusentuh sedikitpun. Saat aku sedang memikirkan kemana anak itu pergi. Kudengar bunyi pintu yang dibuka oleh seseorang. Ya, Changmin sudah pulang. Tapi tunggu, wajahnya kulihat sedikit memar. Tampak dengan jelas sudut bibirnya berdarah dan beberapa lebam di bagian pelipisnya.
“Kamu kenapa?”,tanyaku khawatir.
“….”.tidak ada jawaban darinya.
“Kamu habis berkelahi ya?”,ku dekati dia dan memastikan keadaan wajahnya.
“Aku tak apa-apa”, jawabnya datar.
“Tak apa-apa bagaimana?”, aku kemudian pergi meninggalkannya mencari Bik Inah. Ku minta tolong padanya untuk mengambilkan kompres dan kotak P3K untuk mengobati luka Changmin Awalnya memang Bik Inah sempat bertanya padaku kenapa Changmin bisa terluka, ku jawab saja agar dia bertanya pada Changmin nanti secara langsung. Karena aku tak mau membuat pernyataan yang belum jelas kenyataannya , Changmin juga tadi tak mau menjawab jadi terserah padanya saja. Bik Inah juga menawarkan diri untuk mengobatiChangmin, tapi kutolak karena kurasa dia masih sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Rumah yang besar, capekkan.
Kuputuskan untuk kembali menuju kamar Changmin namun saat kubuka pintunya, aku kembali terkejut untuk kedua kalinya. Dia sedang mengganti bajunya, dari kemarin anak ini selalu berganti baju pada saat yang kurang tepat. Entahlah dia mau pamer atau apa. Tapi kali ini dia sudah mengganti celana panjangnya sehingga dia hanya topless sambil mengambil baju di lemari.
“Kenapa?”, aku hanya berdiri mematung di ambang pintu.
“Seharusnya kau mengganti baju di kamar mandi atau dimana kek. Kan disini ada orang. Dasar gak tahu malu”, ejekku padanya.
“Salahkan orang yang nyelonong masuk ke kamar orang lain tanpa mengetuk pintu. Lagian kenapa? Sudah kubilang kita sama-sama lelaki, kenapa musti malu?”, aku menyalahkan diriku sendiri. Dasar bodoh aku juga sih lupa ngetuk pintu. Tapi dia seharusnya mengunci pintunya saat akan berganti baju.
Ku menyadari bahwa Changmin berjalan mendekatiku masih dalam keadaan bertelanjang dada. Dengan tiba-tiba dia mendorongku hingga aku terhimpit olehnya sampai tembok. Kotak P3K dan obat yang kubawa otomatis jatuh begitu saja. Aku terpepet dan tak bisa bergerak, wajahnya mulai dia dekatkan kewajahku sehingga jarak wajah kami hanya berjarak beberapa centi saja. Kurasakan nafasnya memburu di depanku. Aku tak tahan.
“Apa yang sedang kamu lakukan bocah?”, ,ku bentak dia sambil membulatkan mataku ke arahnya,walaupun aku harus mendongakkan kepalaku karena postur tubuhnya lebih tinggi dariku.
“Hei kamu ini mau apa?”, teriakanku yang kedua tak lantas membuatnya beranjak menjauh dari tubuhku. Jantungku berdetak tak seperti biasanya,kencang sekali. Tatapan matanya yang polos berubah menjadi mata elang yang menatapku tajam. Aku masih ketakutan, apa yang akan dilakukan anak ini. Karena tak tahan, kedua tanganku lantas mendorongnya jauh ke belakang hingga ia hampir terjatuh kalau saja dia tidak mnenopang tubuhnya dengan kaki kanannya.
“Au, kau ini apa-apaan sih? Sakit tau”,dia hanya meringis kesakitan.
“Kamu masih bertanya kenapa? Sekarang aku mau tanya kenapa kau menghimpitku begitu?”, kutanyakan balik padanya. Aku tak mau berpikiran macam-macam atas apa yang dia lakukan tadi.
“Aku kan hanya mau melihat matamu saja. Warnanya indah, hitam”,jawabnya. Ya ampun alasan yang dikatakannya sungguh tak logis. Dia menghimpitku ke tembok hanya untuk melihat mataku, jawabannya kekanak-kanakan bahkan dia mengatakannya dengan tampang polosnya. Kalau ada orang yang melihat kami dalam posisi seperti itu maka mereka pasti akan berpikir macam-macam. Bagaimana tidak, dia menghimpitku,bertelanjang dada dan argggggggh……. Aku sudah tak mampu menjelaskannya lagi.
“Kamu hanya ingin melihat mataku! Apa kamu gila? Kamu membuatku berpikiran kotor tau!”, ku ambil kotak P3K yang sempat terjatuh karena insiden tadi.
“Memang apa yang kau pikirkan? Kau berpikir aku akan…….aw!”,aku menjitak kepalanya sebelum dia meneruskan kata-katanya.
“Kamu yang berpikiran mesum, sekarang kamu cepat pakai bajumu!”, dia tidak menjawab apa-apa. Huh, aku tak mau banyak berdebat dengannya. Kalian tahu ngomong sama dia tidak akan ada habisnya, banyak saja alasannya. Kulihat dia sedang menuju lemari pakaiannya dan mengambil salah satu baju kemudian memakainya. Sementara itu, aku mencoba menormalkan detak jantungku yang masih berpacu dengan cepat. Ku elus dadaku, berharap untuk membuatnya bekerja seperti semula.
“Baiklah, sekarang kamu duduk disitu!”, ku pandu dia untuk duduk di sisi tempat tidurnya.
“Mau apa? Atau kau mau itu ya? mau…….aduh!”, ini jitakanku kedua padanya. Biar dia kapok, anak ini memang tak punya otak.
“Dasar kurang ajar! Memang aku mau apa hah? Tentu saja aku mau mengobati lukamu”, ku coba berbicara setenang mungkin karena aku sudah mengeluarkan tenagaku untuk membentaknya tadi.
“Ouw, kukira mau apa. Ya maaf deh”, aku sama sekali tidak menggubrisnya. Ku ambil kantong kompres yang berisi balok es di baskom yang kubawa tadi. Ku usap ke bagian wajahnya yang memar mulai dari sudut bibir hingga keningnya yang lebam karena hantaman. Saat seriusnya mengobatinya, dia mulai menatapku lagi. Kenapa selalu begini? Aku tak betah dengan tatapannya.
“Kenapa lihat-lihat? Aku tak suka kamu memandangku seperti itu”,aku mulai angkat bicara.
“Ye suka-suka aku dong! Kalau kau marah terlihat manis ya”, kata-katanya sontak membuatku malu. Anak ini terlalu polos.
“Tapi jangan dipandangi seperti itu, risih tau”,ku ambil plester lalu menempelkannya pada keningnya yang masih agak merah karena darah.
“Oke selesai”, akhirnya selesai juga mengobati Changmin, si bocah ingusan ini.
“Makasih ya!”,dia mengatakannya sambil memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi.
“Ya sama-sama”,jawabku sekenanya.
“Ayo kita mulai belajar!”, ajaknya padaku. Benarkah yang dikatakannya, anak ini mengajak belajar. Dari ekspresinya kulihat dia mengatakannya sungguh-sungguh.
“Sepertinya hari ini kita tidak usah belajar dulu. Kamu sepertinya butuh istirahat”, aku mengatakannya karena aku tak mau belajar dengannya dengan keadaannya yang seperti itu.
“Begitu ya? Padahal ini pertama kalinya aku seantusias ini untuk belajar”, ucapan dari mulutnya membuatku tersanjung. Ekspresinya berubah menjadi murung.
“Hari Sabtu kan, aku datang kesini lagi. Dan kamu harus selesaikan masalahmu yang membuatmu seperti ini. Dan juga kamu kudu memikirkan apa yang harus kamu katakan ke ayahmu tentang luka yang bersarang di wajah itu”, kukemasi seluruh perlengkapan mengajarku diatas meja.
“Kalau itu sudah biasa, masalah ayah akan tahu tentang aksi berantemku ini sudah keseringan. Paling aku hanya dapat omelan dan uang jajanku akan dipotong karena masalah ini”, memang anak ini terkenal bandelnya. Dia bilang ini sudah biasa berarti dia sering melakukannya.
“Kamu ini sudah kelas 3 SMA, seharusnya kamu perbanyak belajarmu. Kamu kan mau ujian”, nasehatku padanya.
“Maka dari itu mulai dari sekarang aku berjanji akan berubah”,ku coba mencari keseriusan dalam kalimatnya. Terlihat sekali dia memang jujur mengucapkannya. Semoga ini pertanda yang baik.
“Oke. Aku pergi!”,aku beranjak pergi meninggalkannya. Tapi kurasakan dia mengekorku menuju keluar rumah.
“Biar aku antar!”, ucapan yang singkat tapi membuatku menghentikan langkahku yang sudah sampai di teras rumah.
“Tidak usah! aku pulang sendiri saja. Sepertinya ini mau hujan, jadi aku harus cepat-cepat pulang”, ku coba cari alasan agar aku tak berlama-lama di tempat ini walaupun sebenarnya memang akan hujan.
“Bagaimana kau tahu? Ini kan cerah sekali”, dia mendongakkan kepalanya menatap langit yang masih cerah.
“Hari ini panas sekali. Kalau cuaca sangat panas seperti ini akan memudahkan air laut menguap dan terjadilah hujan. Lagi pula aku mencium bau air hujan, jadi tak mungkin tebakanku salah”, aku seperti seseorang yang sok tahu. Tapi bagaimanapun juga tebakanku tentang hujan tidak pernah meleset,Keypun mengakui itu. Dia bahkan menyarankanku untuk jadi peramal cuaca. Ha ha ha…..(ketawaku memang maksa)
“Aku tak mencium bau apa-apa”, dia mengenduskan hidungnya mencoba mencium bau yang kukatakan tadi. Ada-ada saja anak ini.
“Hidungmu berbeda dengan hidungku. Penciumanku ini sangat tajam, jadi jangan mencoba melakukan hal yang aneh seperti itu”, aku mencoba melarangnya karena aku tak mau melihat anak yang tampan ini mengendus seperti babi. Apa? Apa aku tadi bilang kalau dia tampan?
“Oh, kalau tahu hujan kenapa kau tak mau kuantar?”, dia sepertinya tak menyerah untuk menawariku.
“Sudah kubilang kamu itu butuh istirahat yang cukup. Sudah, aku mau pulang jangan menahanku untuk berlama-lama disini”, aku segera meninggalkan tempat itu tanpa menoleh kebelakang. Aku tak mau melihat senyumannya. Ye, aku ge-er sekali kalau dia tersenyum saat aku pergi.
☺☺☺
Kulirik layar hape-ku yang menunjukkan kalau sekarang sudah pukul 18.12. Huh, sudah satu setengah jam lamanya aku menunggu bus disini, tapi bahkan satupun tak kutemui bus-bus itu lewat..
uh ….dingin sekali.
Setelah melalui beberapa pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki. Yah sebenarnya kalau berjalan kaki dari sini memakan waktu 45 menit. Seperti saat kos waktu SMA. Dulu karena kos terdekat dengan sekolahku sudah penuh,aku hanya mendapatkan kos yang jaraknya lumayan jauh. Alhasil setiap pagi aku harus jalan kaki jika berangkat sekolah. Waktu itu hanya memakan waktu 30 menit. Sebenarnya bisa sih naik angkutan umum, tapi aku menolak kemudahan itu karena aku ingin menabung uang transportku. Dasarnya saja otakku pengen selalunya irit.
Duh, semoga saja hujannya tak turun sebelum aku sampai kekosan. Aku mempercepat langkahku agar sampai. Kalian pasti bertanya kenapa tak ada kendaraan lain selain bus dan angukutan umum disini. Ya, karena ini jalan sempit. Jarang sekali taksi yang lewat kesini, bahkan kalau adapun aku pasti menahan pemikiranku untuk naik kendaraan itu karena aku tak mau buang-buang uang. Tentang angkutan umum, malam hari mereka tak narik.
Dan soal bus yang kutunggu, entahlah baru kali ini aku menunggu bus selama ini.
Aku melupakan sesuatu. Kurogoh saku celanaku, kupencet tombol navigasinya tapi mendadak hape-ku lowbet. Oh sial, disaat aku punya inisiatif untuk menelpon salah satu temanku, tapi hape busuk ini tak bisa diajak berkompromi(Kamu pikir itu barang hidup). Walaupun awalnya aku mengurungkan niatku untuk menelpon chunie, karena aku bukan tipe orang yang mau merepotkan orang lain. Tapi disaat genting seperti ini, aku harus meminta bantuannya. Tapi apa nyatanya, aku jatuh dalam lubang kesialan.
Aku sudah sampai setengah jalan tapi butiran air turun dari langit. Huh, ini sudah gerimis. Akupun segera mempercepat langkahku kembali, kupayungi kepalaku dengan tas punggungku. Gerimis seperti ini tak akan bisa menghentikanku.
Tapi sepertinya hujan tak mau bersahabat denganku. Gerimispun berubah menjadi deras tak terkendali, anginnya kencang pula. Ku lihat sisi kanan maupun kiri. Sepertinya aku sudah jauh dari keramaian, hanya pohon dan sedikit penerangan di tempat ini. Tempat berteduhpun tak kutemui, daripada aku harus berlindung dari derasnya hujan dengan berteduh di bawah pohon yang tetap saja tak akan bisa menahan tetes air membasahi badanku. Aku memaksakan diriku untuk tetap berjalan menerobos hujan ini. Tak terasa tubuhku menjadi lemas dan pusing. Aku sudah tak kuat berjalan.
.
.
.Tiba-tiba saja tubuhku ambruk.
Bruuuuuk!
☺☺☺
Aku merasakan dingin sekali dikepalaku tepatnya di dahiku. Kuraih benda yang diletakkan di dahiku. Ternyata aku sedang dikompres. Sungguh mata ini sangat berat sekali untuk kubuka. Aku masih sedikit pusing dan lemah. Tapi tunggu, dimana ini?. Aku menyadari bahwa aku sedang tidak berada di kamar kosku. Tempat apa ini? Tempat tidur yang empuk, barang-barang yang disinipun sangat mewah.
Salah jika diriku menebak ini rumah sakit. Sebenarnya aku ini ada dimana? Jam dinding kamar ini menunjukkan pukul enam pagi.
Aneh, tak mungkin aku berganti pakaian sendiri. Saat ini aku memakai baju yang berbeda dengan kemarin malam. Ada yang mengganti bajuku. Ku coba menyibakkan celanaku sedikit, dan untunglah celana dalamku tak diganti.
“Tenang saja CD-mu tak ku ganti. Awalnya aku berpikiran untuk menggantinya karena basah tapi aku biarkan saja. Toh nanti kalau aku menggantinya kamu akan berpikiran macam-macam tentangku”, sosok yang tengah menjelaskan itu masuk dan menghampiriku dan membawakan nampan makanan.
“KamuYunho? Dimana aku?”,aku sungguh sangat terkejut sekali dengan sosoknya.
“Ya, kamu ada di apartemenku. Kemarin malam aku lihat kamu tergeletak pingsan di jalanan yang sepi. Karena aku tak tahu rumahmu jadi aku bawa saja kamu kesini”, jelasnya. Oh shit, aku malu sekali. Dia bilang ini apartemennnya, ini apartemen yang sangat mewah untuk penghuni yang masih seorang mahasiswa. Aku tak ragu lagi kalau dia anak orang yang berada.
“Oh, begitu. Aku minta maaf ya menyusahkanmu. Kemarin aku nekad menembus hujan deras karena tak ada kendaraan yang lewat”, aku sungguh tak tahu harus bilang apa.
“Seharusnya kamu bilang terima kasih”, dia menempelkan punggung tangannya di keningku. Oh, aku tak bisa mengungkapkannya. Terasa nyaman sekali saat dia menyentuh keningku seperti saat ini.
“Ya, terima kasih banyak”, aku hanya menurut untuk mengikuti perkataannya. Karena aku tak mau dicap sebagai orang yang tak tahu diri.
“Sepertinya demammu sudah turun. Sebaiknya kamu makan dan segera minum obat!”,dia menyodorkanku nampan berisi bubur, minuman dan beberapa obat-obatan kemudian dia beranjak pergi.
Setelah menyelesaikan acara makanku, aku berniat untuk membawa nampan ini kedapur. Karena bukan rumah sendiri, jadi aku masih clingak-clinguk mencari tempat itu. Sesudah aku memastikan kalau aku sudah berada di dapur aku berinisiatif untuk mencucinya.
“Apa yang kamu lakukan?”, dia membuatku kaget.
“Aku Sedang mencuci mangkok dan gelas saat aku makan tadi”, aku mencoba menjawab dengan ramah. Tak elegan jika aku berkata judes saat pertama kali bertemu.
“Tak usah! kamu kan lagi sakit, biar aku yang mengerjakannya. Lebih baik kamu istirahat saja!”, dia mengambil alih kegiatan mencuciku.
“Aku tak mau menjadi orang yang tak tahu diri”,tegasku padanya. Kemudian ia torehkan tatapan matanya padaku.
“Kamu ini apa-apaan sih. Aku tak menganggapmu tak tahu diri dan merepotkanku. Justru aku malah senang dengan kamu yang saat ini berada disini. Aku ingin akrab denganmu apa itu tak boleh? Apa itu membuatmu merasa tidak nyaman?”, aku menjadi merasa bersalah sekarang.
“Uhm, maaf”, hanya itu yang dapat kukatakan sambil menundukkan kepalaku.
“Kenapa dari tadi kamu hanya bilang maaf saja. Bersikaplah biasa denganku seperti saat kita pertama kali bertemu”, aku hanya melongo mendengarkan perkataannya.
“Baiklah”, aku hanya tersenyum kecut.
“Kau manis kalau tersenyum!”. Ini kedua kalinya aku disebut manis setelah Oscar yang mengatakannya kemarin. Kalian tahu mukaku mudah bersemu merah jika orang mengatakan hal semacam itu. Ku sadari bahwa aku merasa kehilangan sesuatu dan kuingat itu adalah ponselku. Kucoba rogoh celanaku tapi bodonhnya aku setelah sadar kalau yang celana yang kupakai sekarang bukan celana yang kukenakan kemarin malam.
“Kamu cari hape ya?”, Yunho yang menyadari kepanikanku pun bertanya. Aku mengangguk.
“Kemarin hape-mu mati , entah itu karena lowbet atau rusak karena basah. Jadi, aku chase saja. Sepertinya kemarin kamu mau menghubungi seseorang tapi hape-mu keburu mati ya? Itu aku taruh di stop kontak dekat dengan TV di ruang tamu!”, Yunho sepertinya tahu tentang kejadian tadi malam, tentang hape-ku yang tidak bisa dipakai untuk melakukan panggilan.
“Iya. Dimana ruang tamunya?”, aku lupa arahnya padahal tadi saat mencari dapur aku melihat ruangan itu. Tapi aku tak mungkin bisa menemukannya lagi, mengingat apartemennya sebesar ini.
“Kamu tinggal belok kiri aja lalu terus jalan!”, terangnya padaku.
“Makasih”, aku segera berlari kecil tak sabar mengambil benda kecil kepunyaanku.
Ku coba hidupkan kembali ponselku.Syukurlah, ternyata masih idup. Ku amati layar ponselku ada beberapa panggilan yang masuk dan itu semua dari Chunie, pasti anak ini khawatir padaku karena belum pulang walau sudah malam. Ku buka satu persatu pesan yang ada disitu pula, tertera nama Junsu dan Yoona yang sebagian besar mengirimkan pesan tak penting dan beberapa pertanyaan tentang mata kuliah yang belum mereka pahami. Dari semua pesan ada pula pesan dariYoochun, ada 3 pesan. Kurang lebih pesannya seperti ini.
‘Jae, kok belum pulang sih. Aku sendiri nih’, aku sempat tersenyum melihat pesan ini. Emang aku haru nemenin dia agar tak sendirian. Kemudian aku baca pesan kedua.
‘Jaejoong, ini udah malam hlo, ujan lagi. Atau mau aku jemput? Jawab telfonnya dong!’, Jae sepertinya benar-benar khawatir padaku. Emang aku istrinya apa? Lagian apa-apaan aku ini. Aku terdengar seperti berharap akan hal itu. Kulanjutkan membaca SMS ketiga.
‘Jae cepet pulang! Aku kangen kamu’
Ya ampun! Aku shock membacanya..
.
.
.
Tbc….
Ya huft Chapter III Akhirnya selesai…. Lanjut ke Chapter IV